dinsdag 16 december 2014

Apem







Dalam tradisi kebudayaan Jawa, biasanya persiapan kehadiran bulan Ramadhan telah dilaksanakan sejak sebulan sebelumnya, yang dalam penanggalan Jawa jatuh pada bulan Ruwah (disadur dari kata Arab, arwah, yaitu jiwa orang yang sudah meninggal). Dalam pemahaman Jawa, kata Ruwah terkait dengan roh. Bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.

Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran (berasal dari kata Sraddha), mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga. Upacara Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap bulan Ruwah.

Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya menyelenggaran upacara Nyadran secara umum (komunal) yang diselenggarakan pada siang hari hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama mengadakan do’a dan makan bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan do’a bersama di makam.

Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi gurih dan lauknya. Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini dipercaya memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan (khotan), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem sebagai simbol permintaan maaf (ngapura). Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir dalam setiap upacara/slametan yang terkait dengan kematian. Makna yang terkandung dalam sesaji ini adalah agar arwah mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya.

(woman resources centre)

OOOOOO a hem suk ruwah maem apem.
Masih ingat kalimat di atas?
kolak, apem, nyadran menjadi bagian ritual di masa kecilku sampai dewasa.
Di Yogyakarta ketika itu, kami sibuk menyiapkan diri untuk mengenang arwah leluhur. Bersama sanak saudara membersihkan makam-makam leluhur. Kemudian berkumpul bersama, berdoa dan menyantap hidangan yang antara lain adalah apem.

Ternyata di NL ada juga apem, namanya poffertjes. Apem ini biasanya dimakan untuk sarapan. Kami biasanya membeli apem ini di supermarkt.

Sejak hari rabu kemarin, CP sibuk melihat-lihat resep apem di buku masakan dan internet. Kemudian dia membeli bahan-bahannya di supermarket bersama papanya.

Hari minggu siang, dia mencoba membuat apem. Dia membuat adonan sendiri dan aku menyiapkan loyangnya. Setelah loyang panas, dia mengolesnya dengan minyak. Kemudian dengan hati-hati, dia menuang adonan ke loyang.

Setelah aku beri contoh untuk membolak-balik apemnya, dia langsung bisa. Dengan telaten dia memanggang apem sampai ke tetes terakhir. Selama proses memasak, dia mencicipi hasil masakannya.

Geen opmerkingen:

Een reactie posten